Oleh: F U A D, M.Pd.I
Pendidikan merupakan
pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, bagaimana wajah bangsa ini pada
masa yang akan datang sangat ditentukan oleh proses pendidikan saat ini. Proses
pendidikan tidak bisa lepas dari peran seorang guru dalam pembelajaran. Dalam
hal ini, pemerintah kita telah mengapresiasikan peran utama seorang pendidik,
yang tertuang dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di
dalamnya disebutkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sebagai penghargaan terhadap
tugas guru tersebut, pemerintah juga telah melaksanakan program sertifikasi
bagi para guru. Dengan adanya program tersebut, wajah guru tidak lagi seperti Si
“Umar Bakri” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Hal ini karena pemerintah
memberikan tunjangan sebesar 1 kali gaji pokok bagi guru tersertifikasi
sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang No. 14 tahun
2005.
Seorang
guru harus memenuhi 4 kompetensi yakni kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Saat ini ada wacana
untuk menambah 2 kompetensi bagi guru, yakni kompetensi Leadership dan Spiritual.
Berdasarkan hal tersebut, seorang guru profesional harus bersifat “dinamis” dan
“progresif” selalu bergerak aktif mengembangkan kualitas dirinya sebagai
seorang pendidik. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak guru yang terbelenggu
dengan “ritual-ritual” di kelas karena tuntutan pemenuhan beban kerja minimal
24 jam sebagaimana amanat pasal 35 Undang-Undang No. 14
tahun 2005. Seorang guru harus mempersiapkan semua berkas perencanaan
pembelajaran meliputi Prota, Promes, Silabus,
RPP dan sebagainya dilanjutkan dengan proses pembelajaran disertai bukti
fisiknya dan harus ada proses penilaian beserta tindak lanjutnya.
Jika seorang guru
benar-benar melakukan tugas itu secara “murni dan konsekuen” maka tidak ada
lagi waktu luang untuk seorang guru. Sebagai ilustrasi, jika seorang guru
mengampu mata pelajaran yang bernilai 2 jam, maka dia harus mengajar “minimal”
12 kelas untuk memenuhi beban kerjanya. Jika dia mengadakan ulangan harian maka
dia harus mempersiapkan kisi-kisi, kartu soal dan perlengkapan yang lain dan
setelah proses ulangan maka harus ada analisis ulangan harian tersebut beserta
analisis butir soal. Setelah proses ulangan harus ada tindak lanjut berupa
program pengayaan bagi anak-anak yang mendapat nilai bagus dan program
perbaikan bagi anak-anak yang nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal. Itu
hanyalah ilustrasi dari sebagian kecil dari tugas seorang guru.
Ada fenomena, di mana
guru belum bisa memenuhi kriteria pemenuhan beban kerja 24 jam, katakanlah dia
hanya mendapat 6 jam (karena jamnya habis digunakan guru-guru senior yang telah
tersertifikasi). Namun guru tersebut sangat kreatif, karena punya banyak waktu
luang dia membuat banyak sekali media pembelajaran menggunakan “Macromedia
Flash Player” dan karya-karyanya banyak digunakan oleh guru-guru lain karena
dia sering mendapat juara pada lomba-lomba media pembelajaran. Karena
prestasinya tersebut dia juga sering diundang untuk menjadi narasumber pada
seminar-seminar tentang media pembelajaran. Dia juga dipercaya oleh penerbit
buku untuk menulis karya tersebut untuk dipublikasikan. Karena kemampuannya,
dia juga mendapat hadiah berupa melanjutkan pendidikan ke jenjang Pasca Sarjana
dengan bea siswa penuh. Akhirnya dia dikenal sebagai guru yang kreatif dengan
segudang prestasi. Namun, sangat malang nasibnya ..... dia tetap tidak bisa
menyandang statusnya sebagai seorang “GURU PROFESIONAL”.
Paradigma kebijakan sertifikasi masih mengarah
kepada bagi-bagi kesejahteraan dan politik balas budi. Guru menjadi sibuk
memenuhi beban minimal mengajar agar tunjangan sertifikasi bisa cair. Sehingga
yang terjadi hanyalah rutinitas-rutinitas tanpa adanya Esensi dari kata
Profesional itu sendiri. Hal tersebut juga memicu kenakalan-kenakalan yang
terjadi di lapangan, sehingga ada julukan guru “COPAS” yang haya Copy and Paste
kerjaan teman. Padahal guru yang sudah tersertifikasi telah menyandang gelar
sebagai guru “Profesional” dan sebagai konsekuensinya harus meningkatkan
profesionalitasnya.
Sebagai bahan renungan,
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru Profesional sangatlah komplek.
Paradigma saat ini masih mengejar target-target “Kuantitas” baik berupa
bukti-bukti dokumentasi fisik maupun pemenuhan beban mengajar 24 jam. Seharusnya
paradigma harus bergeser pada aspek “Kualitas” seorang guru Profesional harus
mampu menjadi penulis buku yang handal, pencipta media-media pembelajaran,
membuat penelitian-penilitian ilmiah, menjadi nara sumber dalam
seminar-seminar. Masih banyak guru-guru dengan segudang kreatifitas dan
prestasi tidak dapat menyandang sebagai seorang guru profesional karena tidak
mampu memenuhi persyaratan minimal 24 jam.