ASSALAMU'ALAIKUM...SELAMAT DATANG

Kamis, 22 Maret 2012

PROFESIONALISME GURU, ANTARA BEBAN KERJA DAN PENINGKATAN KOMPETENSI

Oleh: F U A D, M.Pd.I
Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, bagaimana wajah bangsa ini pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh proses pendidikan saat ini. Proses pendidikan tidak bisa lepas dari peran seorang guru dalam pembelajaran. Dalam hal ini, pemerintah kita telah mengapresiasikan peran utama seorang pendidik, yang tertuang dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalamnya disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sebagai penghargaan terhadap tugas guru tersebut, pemerintah juga telah melaksanakan program sertifikasi bagi para guru. Dengan adanya program tersebut, wajah guru tidak lagi seperti Si “Umar Bakri” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Hal ini karena pemerintah memberikan tunjangan sebesar 1 kali gaji pokok bagi guru tersertifikasi sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang No. 14 tahun 2005.
Seorang guru harus memenuhi 4 kompetensi yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Saat ini ada wacana untuk menambah 2 kompetensi bagi guru, yakni kompetensi Leadership dan Spiritual. Berdasarkan hal tersebut, seorang guru profesional harus bersifat “dinamis” dan “progresif” selalu bergerak aktif mengembangkan kualitas dirinya sebagai seorang pendidik. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak guru yang terbelenggu dengan “ritual-ritual” di kelas karena tuntutan pemenuhan beban kerja minimal 24 jam sebagaimana amanat pasal 35 Undang-Undang No. 14 tahun 2005. Seorang guru harus mempersiapkan semua berkas perencanaan pembelajaran meliputi Prota, Promes, Silabus,  RPP dan sebagainya dilanjutkan dengan proses pembelajaran disertai bukti fisiknya dan harus ada proses penilaian beserta tindak lanjutnya.
Jika seorang guru benar-benar melakukan tugas itu secara “murni dan konsekuen” maka tidak ada lagi waktu luang untuk seorang guru. Sebagai ilustrasi, jika seorang guru mengampu mata pelajaran yang bernilai 2 jam, maka dia harus mengajar “minimal” 12 kelas untuk memenuhi beban kerjanya. Jika dia mengadakan ulangan harian maka dia harus mempersiapkan kisi-kisi, kartu soal dan perlengkapan yang lain dan setelah proses ulangan maka harus ada analisis ulangan harian tersebut beserta analisis butir soal. Setelah proses ulangan harus ada tindak lanjut berupa program pengayaan bagi anak-anak yang mendapat nilai bagus dan program perbaikan bagi anak-anak yang nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal. Itu hanyalah ilustrasi dari sebagian kecil dari tugas seorang guru.
Ada fenomena, di mana guru belum bisa memenuhi kriteria pemenuhan beban kerja 24 jam, katakanlah dia hanya mendapat 6 jam (karena jamnya habis digunakan guru-guru senior yang telah tersertifikasi). Namun guru tersebut sangat kreatif, karena punya banyak waktu luang dia membuat banyak sekali media pembelajaran menggunakan “Macromedia Flash Player” dan karya-karyanya banyak digunakan oleh guru-guru lain karena dia sering mendapat juara pada lomba-lomba media pembelajaran. Karena prestasinya tersebut dia juga sering diundang untuk menjadi narasumber pada seminar-seminar tentang media pembelajaran. Dia juga dipercaya oleh penerbit buku untuk menulis karya tersebut untuk dipublikasikan. Karena kemampuannya, dia juga mendapat hadiah berupa melanjutkan pendidikan ke jenjang Pasca Sarjana dengan bea siswa penuh. Akhirnya dia dikenal sebagai guru yang kreatif dengan segudang prestasi. Namun, sangat malang nasibnya ..... dia tetap tidak bisa menyandang statusnya sebagai seorang “GURU PROFESIONAL”.
 Paradigma kebijakan sertifikasi masih mengarah kepada bagi-bagi kesejahteraan dan politik balas budi. Guru menjadi sibuk memenuhi beban minimal mengajar agar tunjangan sertifikasi bisa cair. Sehingga yang terjadi hanyalah rutinitas-rutinitas tanpa adanya Esensi dari kata Profesional itu sendiri. Hal tersebut juga memicu kenakalan-kenakalan yang terjadi di lapangan, sehingga ada julukan guru “COPAS” yang haya Copy and Paste kerjaan teman. Padahal guru yang sudah tersertifikasi telah menyandang gelar sebagai guru “Profesional” dan sebagai konsekuensinya harus meningkatkan profesionalitasnya.
Sebagai bahan renungan, kompetensi yang harus dimiliki seorang guru Profesional sangatlah komplek. Paradigma saat ini masih mengejar target-target “Kuantitas” baik berupa bukti-bukti dokumentasi fisik maupun pemenuhan beban mengajar 24 jam. Seharusnya paradigma harus bergeser pada aspek “Kualitas” seorang guru Profesional harus mampu menjadi penulis buku yang handal, pencipta media-media pembelajaran, membuat penelitian-penilitian ilmiah, menjadi nara sumber dalam seminar-seminar. Masih banyak guru-guru dengan segudang kreatifitas dan prestasi tidak dapat menyandang sebagai seorang guru profesional karena tidak mampu memenuhi persyaratan minimal 24 jam.